WAKAF PRODUKTIF

Sebuah Alternatif Untuk Pemberdayaan Ummat


PKPU Online Islam, sebagai agama moral, tertantang tidak saja untuk menghancurkan ketimpangan struktur sosial yang terjadi saat ini, melainkan juga berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena di sini, Islam tidak hanya sebagai agama yang sarat dengan nilai elitis−normatif yang sama sekali tidak memiliki kepedulian sosial, tetapi Islam secara integral merupakan bangunan moral yang berpretensi untuk turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial−kemasyarakatan.

Lebih dari itu, Islam juga merupakan agama keadilan. Pelabelan sebagai agama keadilan lebih karena kandungannya terhadap cita−cita keadilan sosial yang mengejawantah dalam doktrin−doktrinnya. Karena itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, pengabaian atau ketidakseriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa’ yang tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang bahkan berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap solidaritas kemanusiaan dan keadilan sosial.

Dalam pada itu, wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah−masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian ini karena wakaf sesungguhnya memiliki elan besar dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan.

Dominasi Wakaf Konsumtif
Sebagaimana diketahui, wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di seantero dunia umumnya, Indonesia khususnya. Dalam konteks negara Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Ini karena sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga−lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.

Islam, selama ini mengenal lembaga wakaf yang merupakan sumber aset yang memberikan pemanfa'atan sepanjang masa. Namun pengumpulan, pengelolaan dan pandayagunaan harta wakaf secara produktif di tanah air kita ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain. Begitu pun, studi perwakafan di tanah air kita masih terfokus kepada segi hukum fiqh an sich, dan belum menyentuh pada manajemen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan memberikan hasil kepada masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar−benar menjadi sumber dana dari masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.

Dalam kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan ini, sesungguhnya wakaf di samping tak dapat dipungkiri peran dan fungsi instrumen−instrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah dan lain−lainnya−sangat berperan penting dalam upaya mewujudkan perekonomian nasional yang sehat. Dalam jangkauan yang lebih luas, kehadiran wakaf dapat pula dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang ekonomi, terutama sekali jika wakaf dikelola dengan manajemen yang rapi, teratur dan profesional disertai kualitas para pengelolanya.

Namun demikian, fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat masih sangat minim, jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasikan ke khalayak umum. Selama ini, distribusi aset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan−kegiatan ibadah mahdlah. Ini dapat dimaklumi, karena memang pada umumnya ada keterbatasan umat Islam akan pemah aman wakaf, baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan (distribusi) wakaf maupun nadzir wakaf.

Pada umumnnya, umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal−hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti tercermin dalam pembentukan masjid, mushalla, sekolah, makam dan lain−lain, sebagaimana telah sebutkan diatas. Peruntukan yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima sebagai yang inheren dalam wakaf.

Model distribusi wakaf, dalam deskripsi di atas, juga kelihatan sangat konsumtif, dalam pengertian tidak dapat dikembangkan untuk mencapai hasil−hasil yang lebih baik, terutama untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pun, bahwa orientasi wakaf yang konsumtif seperti ini, jelas−jelas selain tidak mendewasakan umat, juga cenderung membuat mereka malas dan menjauhi usaha−usaha yang produktif.

Wajar kalau karena alasan ini pula, umat kemudian tidak kreatif menemukan solusi−solusi persoalan kemiskinan struktural yang dijangkiti oleh hampir mayoritas umat Islam. Umat dalam jangka pendek, akan tidak dapat memenuhi basic need (kebutuhan mendasar) dalam kehidupan, terutama bagi mereka yang miskin. Dan dalam jangka panjang, akan membuat umat tidak akan mampu bersaing dengan ekonomi global yang kian tak terkendalikan

Karena itu, sejenis penafsiran lain mengenai wakaf penting dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan−kebutuhan yang mendesak umat Islam. Bukan hal yang salah jika wakaf produktif, sebagai salah satu bentuk penafsiran yang relatif baru mengenai wakaf, sangat diharapkan mampu menginjeksi ekonomi umat (Islam) yang telah lama terpuruk.

Wakaf Produktif Sebagai Solusi
Pemunculan wakaf produktif, karenanya menjadi pilihan utama, ketika umat sedang dalam keterpurukan kemiskinan akut. Wakaf produktif, berarti bahwa wakaf yang ada memperoleh prioritas utama ditujukan pada upaya yang lebih menghasilkan. Tentu dengan ukuran−ukuran paradigma yang berbeda dengan wakaf konsumtif, memberi harapan−harapan baru bagi sebagian besar komunitas umat Islam. Wakaf ini tidak berkehendak untuk mengarahkan wakaf pada ibadah mahdlah an sich, sebagaimana yang diarahkan wakaf konsumtif.

Wakaf produktif memiliki dua visi sekaligus; menghancurkan struktur−struktur sosial yang timpang dan menyediakan lahan subur untuk mensejahterakan umat Islam. Visi ini secara langsung digapai ketika totalitas diabdikan untuk bentuk−bentuk wakaf produktif yang selanjutnya diteruskan dengan langkah−langkah taktis yang mengarah pada capaian�tersebut. Langkah taktis, sebagai derivasi dari filosofi disyari’atkannya wakaf produktif dimana lebih berupa teknis−teknis pelaksanaan wakaf yang produktif.

Jenis wakaf produktif ini tentu saja juga sangat berdimensikan sosial. Ia semata−mata hanya mengabdikan diri pada kemaslahatan umat Islam. Sehingga, yang tampak dari hal ini, adalah wakaf yang pro−kemanusiaan, bukan wakaf yang hanya berdimensikan ketuhanan. Makanya juga, yang tampak dalam wakaf jenis ini adalah wakaf lebih menyapa realitas umat Islam yang berujud kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan.

Wakaf produktif, dengan demikian, merupakan pengembangan dari penafsiran−penafsiran lama tentang wakaf. Wakaf produktif seperti dikemukakan di atas, dapat diselenggarakan paling kurang, dengan dua cara, sebagaimana keterangan berikut:

1. Wakaf Uang.
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.

Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata−mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat−sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mentasharufkan hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena wakif tidak perlu memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan−satuan yang lebih kecil misalnya, Rp. 5000.

Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan dengan mudah memberikan konstribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu pengumpulan kapital dalam jumlah yang sangat besar. Karena, meskipun sangat kecil jumlahnya, wakaf dalam bentuk uang ini masih saja dapat menerimanya, disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan wakif.

Wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai", yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash−wakf) – istilah yang dipopulerkan oleh Profesor A. Mannan, pemikir ekonomi Islam asal Bangladesh − alam konsepnya merupakan bagian menjadikan wakaf sebagai sumber−sumber dana tunai.

Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Uthmaniyah. Salah satu kelebihan wakaf uang adalah pemberian peluang unik bagi penciptaan investasi di bidang ekonomi, termasuk bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial. Sehingga, wakaf dalam bentuk ini lebih meluas sifatnya, dari pada sekedar benda bergerak yang lainnya, sebagaimana yang telah diselenggarakan dalam wakaf konsumtif.

Salah satu tindakan riil operasional wakaf tunai adalah sertifikat wakaf tunai yang dipelopori oleh M.A Manan dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)−nya. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai sebagaimana yang diterapkan oleh SIBL adalah sebagai berikut:

1. Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai dengan shari'ah. Bank harus mengelola Wakaf tersebut atas nama Wakif.
2. Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh Wakif.
3. Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan−tujuan yang diinginkan asal tidak bertentangan dengan shari'ah.
4. Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan oleh bank dari waktu kewaktu.
5. Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan−tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profil yang diperoleh akan bertambah terus.
6. Wakif dapat meminta bank mempergunakan keseluruan profil untuk tujuan−tujuan yang telah ia tentukan.
7. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya dengan jumlah tertentu. Deposit−deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan jumlah setoran pertama atau kelipatannya.
8. Wakif dapat juga meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening wakif pada SIBL
9. Atas setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat
10.Prinsip dan dasar−dasar peraturan shari'ah wakaf tunai dapat ditinjau kaembali dan dapat berubah.

Beberapa poin yang terdapat dalam Wakaf Tunai di atas, tak lebih dari eksperimentasi Prof. A. Mannan. Makanya, ketika beberapa poin dibuat, A. Mannan masih membuka kemungkinan perubahan menuju yang lebih baik. Karenanya, tradisi ekspe−rimentasi A. Mannan bersifat tidak absolut dan, oleh karenanya, harus dipandang sebagai teladan yang cukup baik dalam komunitas umat.

2. Wakaf Saham
Termasuk juga bagian yang disebut dalam wakaf produktif adalah wakaf saham. Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat didedikasikan untuk kepentingan umat kebanyakan. Bahkan, dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain.

Dalam sebuah perusahaan, seorang penguasa dapat mengkhususkan perun−tukan sebagian sahamnya sebagai harta wakaf yang hasilnya (deviden) untuk senya−tanya digunakan untuk kemaslahatan umat. Wakaf saham boleh juga diambil dari keuntungan seluruh saham yang dimiliki pemiliknya. Semua itu tergantung pada keinginan dan kehendak pemilik saham. Sebab, yang penting bukanlah nominal besar−kecilnya hasil saham, melainkan lebih pada komitmen keberpihakan para wakif terhadap kesejah−teraan umat Islam.

Walhasil, wakaf saham, hanya hendak mewakafkan sebagian hasil saham yang dimiliki wakif kepada umat. Pangsa pasar yang dibidik oleh wakaf saham dengan begitu hanya terbatas para pemegang saham yang kebanyakan kelas menengah ke atas. Demikian ini sangat tepat, mengingat kebanyakan umat Islam, terutama mereka yang secara ekonomi telah mapan, terpaksa dibuat bingung untuk mendayagunakan hartanya di jalan Allah Swt. Dengan adanya wakaf saham, maka sedikit banyak harta mereka dapat digunakan untuk kesejahteraan ekonomi umat yang ada di bawah garis kemiskinan.

Wakaf Produktif Antara Harapan dan Hambatan
Besar harapan, dengan dua model wakaf produktif di atas –dalam bentuk wakaf uang, wakaf saham atau juga wakaf yang lain—disebut−sebut sebagai yang lebih mampu mensejahterakan umat. Dengan cara ini pula, gapaian−gapaian yang senantiasa jauh dari asa dalam cita keadilan sosial sedikit akan mendapatkan momentumnya. Kendati tidak secara total dan langsung ‘menjadi’ (being), modul wakaf produktif dipandang salah satu terobosan baru untuk mencita−citakan kesejahteraan sosial umat.

Namun persoalannya justru muncul dari massa akar rumput, umat yang dalam konteks Indonesia, telah membentuk karakter sosial yang dalam batas−batas tertentu malah menghambat eksistensi wakaf produktif. Karakter sosial, sebagaimana dimaksud, misalnya bangunan berpikir madhab. Karena itu, pertanyaannya kemudian adalah, apakah umat dapat begitu saja menerima jenis wakaf produktif tersebut? Bukankah mindset umat Islam Indonesia khususnya sedemikian rupa telah terbentuk, utamanya karena mereka telah memiliki logika hukum Islam yang bersandarkan mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali?

Tidak salah kiranya, kalau kemudian jenis wakaf produktif baik yang dalam bentuk wakaf uang, wakaf saham dan wakaf sementara harus dihubungkan dengan landasan hukum yang terdapat dalam madzhab empat. Pilihan madzhab empat lebih karena mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut fanatik paham ahlussunah wal al−jama’ah yang dilandasi oleh pemikiran fiqh empat madhab. Lebih jauh, karena empat madhab ini dipandang mu’tabar dalam arti lebih dipandang sistematis dalam cara berpikirnya, banyak referensi yang mengokohkannya dan juga dipandang lebih adaptif dalam setting masyarakat Indonesia.


Sumber: www.forumzakat.org

Bagaimakah pelayana KUA ?

Berapakah usia anda saat menikah